Legenda Romusha telah menjadi bagian tak terpisahkan dari memori kolektif bangsa Indonesia, mewakili tradisi kerja paksa yang diterapkan selama era dominasi kolonial Belanda. Istilah "Romusha" sendiri berasal dari bahasa Jepang yang berarti "buruh" atau "pekerja", namun dalam konteks sejarah Indonesia, kata ini identik dengan penderitaan dan eksploitasi manusia selama pendudukan Jepang (1942-1945). Meskipun demikian, akar dari praktik kerja paksa ini sebenarnya dapat ditelusuri kembali ke masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak 1830.
Tradisi kerja paksa dalam berbagai bentuk telah lama menjadi instrumen dominasi kolonial di Nusantara. Selama Tanam Paksa, petani dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di atas 20% tanah mereka atau bekerja selama 66 hari setahun untuk pemerintah. Sistem ini, yang dikembangkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, menciptakan mekanisme eksploitasi terstruktur yang mengorbankan kesejahteraan rakyat untuk kepentingan ekonomi Belanda. Praktik ini tidak hanya merampas kebebasan petani tetapi juga mengakibatkan kelaparan dan kemiskinan massal, terutama di Jawa.
Dominasi kolonial Belanda mencapai puncaknya melalui Tanam Paksa, yang berlangsung hingga 1870. Sistem ini menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda—dikenal sebagai "batig slot"—sementara rakyat Indonesia menderita. Tradisi kerja paksa ini kemudian diwarisi dan bahkan diperparah oleh pendudukan Jepang, yang memperkenalkan program Romusha secara masif. Ribuan orang, terutama dari Jawa, dikirim ke berbagai proyek militer Jepang di dalam dan luar negeri, dengan kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat kematian yang tinggi.
Dalam konteks perjuangan melawan dominasi kolonial, organisasi seperti Sarekat Islam (didirikan 1912) dan Indische Partij (didirikan 1912) muncul sebagai kekuatan penentang. Sarekat Islam, awalnya bernama Sarekat Dagang Islam, berkembang menjadi organisasi massa pertama di Indonesia yang memperjuangkan kepentingan ekonomi dan politik pribumi. Sementara itu, Indische Partij yang dipimpin oleh "Tiga Serangkai"—Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat—secara terang-terangan menuntut kemerdekaan Indonesia dan menolak sistem kolonial secara keseluruhan.
Perlawanan terhadap tradisi kerja paksa dan dominasi kolonial juga terlihat dalam tuntutan desentralisasi. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan desentralisasi terbatas pada awal abad ke-20, terutama melalui Decentralisatie Wet 1903, yang memberikan sedikit otonomi kepada daerah. Namun, kebijakan ini lebih bertujuan untuk efisiensi administrasi daripada pemberdayaan rakyat. Gerakan nasionalis memanfaatkan ruang ini untuk mengorganisir perlawanan, meskipun tetap dalam pengawasan ketat pemerintah kolonial.
Kehidupan nomaden beberapa kelompok masyarakat Indonesia juga terpengaruh oleh sistem Tanam Paksa dan Romusha. Masyarakat yang secara tradisional berpindah-pindah, seperti beberapa suku di luar Jawa, sering kali dipaksa menetap untuk bekerja dalam sistem pertanian monokultur. Hal ini mengganggu pola hidup tradisional dan menyebabkan dislokasi sosial budaya. Praktik kerja paksa mengubah bukan hanya lanskap ekonomi tetapi juga struktur masyarakat Indonesia secara mendasar.
Perjuangan menuju pemilu bebas di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari warisan perlawanan terhadap kerja paksa dan dominasi kolonial. Setelah kemerdekaan, Indonesia mengadakan pemilu pertama yang benar-benar bebas pada 1955, yang mencerminkan aspirasi demokratis yang lama ditekan selama era kolonial. Pemilu ini menjadi simbol kemenangan atas sistem otoriter yang diwakili oleh Tanam Paksa dan Romusha, meskipun tantangan demokrasi tetap berlanjut dalam periode berikutnya.
Legenda Romusha dan Tanam Paksa terus hidup dalam ingatan sejarah Indonesia sebagai peringatan akan bahaya eksploitasi dan penindasan. Tradisi kerja paksa ini menunjukkan bagaimana dominasi kolonial tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam tetapi juga manusia. Pelajaran dari periode ini relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks perlindungan hak pekerja dan keadilan sosial. Bagi yang tertarik mempelajari lebih lanjut tentang sejarah perjuangan Indonesia, tersedia berbagai sumber online yang dapat diakses.
Warisan Sarekat Islam dan Indische Partij dalam melawan dominasi kolonial memberikan fondasi bagi gerakan nasional Indonesia. Organisasi-organisasi ini tidak hanya menentang kerja paksa tetapi juga membangun kesadaran politik yang akhirnya mengarah pada kemerdekaan. Desentralisasi yang diperjuangkan pada masa kolonial kemudian berkembang menjadi otonomi daerah di Indonesia modern, meskipun dengan tantangan dan kompleksitasnya sendiri.
Kehidupan nomaden yang terganggu oleh kebijakan kolonial mengingatkan kita akan pentingnya menghormati keragaman budaya dalam pembangunan nasional. Sementara itu, perjuangan untuk pemilu bebas yang dimulai pada era kolonial mencapai puncaknya dalam demokrasi Indonesia kontemporer. Memahami legenda Romusha dan tradisi kerja paksa membantu kita menghargai perjuangan panjang menuju kemerdekaan dan keadilan sosial yang masih berlanjut hingga kini.