Legenda Romusha dalam sejarah Indonesia bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan tradisi penderitaan yang mengukir dominasi kolonial melalui sistem tanam paksa yang kejam. Romusha, yang secara harfiah berarti "pekerja kasar", menjadi simbol penderitaan rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda dan Jepang. Sistem ini tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja, tetapi juga membentuk pola dominasi politik dan ekonomi yang bertahan lama dalam struktur masyarakat.
Tradisi kerja paksa sebenarnya telah ada sejak era VOC, namun mencapai puncaknya dalam sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830. Sistem ini memaksa petani menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di 20% tanah mereka atau bekerja 75 hari setahun untuk pemerintah kolonial. Dominasi kolonial terlihat jelas dalam pembagian keuntungan: sementara Belanda meraup keuntungan besar, rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.
Perkembangan organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam dan Indische Partij menjadi respons terhadap dominasi kolonial ini. Sarekat Islam, didirikan tahun 1912, awalnya merupakan perkumpulan pedagang Muslim yang berkembang menjadi organisasi massa pertama di Indonesia dengan anggota mencapai 2 juta orang pada 1919. Organisasi ini tidak hanya memperjuangkan kepentingan ekonomi umat Islam, tetapi juga menentang ketidakadilan sistem kolonial, termasuk praktik Romusha dan tanam paksa.
Indische Partij, yang didirikan tahun 1912 oleh Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat), mengambil pendekatan lebih radikal dengan menyerukan kemerdekaan penuh dari Belanda. Meski hanya berumur pendek karena dilarang pemerintah kolonial tahun 1913, partai ini menanamkan benih nasionalisme modern dan gagasan tentang Indonesia merdeka. Perjuangan mereka melawan dominasi kolonial mencakup kritik terhadap sistem tanam paksa yang dianggap sebagai bentuk perbudakan modern.
Sistem desentralisasi yang diperkenalkan Belanda pada awal abad ke-20 merupakan strategi untuk mempertahankan dominasi kolonial dengan cara yang lebih halus. Melalui desentralisasi terbatas, Belanda memberikan sedikit otonomi kepada daerah sambil tetap mempertahankan kendali pusat atas kebijakan penting. Sistem ini justru memperkuat ketergantungan daerah pada pemerintah pusat kolonial dan menciptakan elite lokal yang bekerja sama dengan penjajah.
Konsep pemilu bebas menjadi kontras tajam dengan realitas politik kolonial. Selama masa penjajahan, rakyat Indonesia tidak pernah mengalami pemilu yang benar-benar demokratis. Dewan-dewan perwakilan yang ada, seperti Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk 1918, hanya memiliki kekuatan terbatas dan mayoritas anggotanya ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Dominasi Belanda tetap utuh meski ada lembaga perwakilan formal.
Fenomena nomaden paksa muncul sebagai konsekuensi sistem tanam paksa dan Romusha. Banyak petani terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar di daerah lain. Migrasi paksa ini mengakibatkan terputusnya hubungan sosial tradisional dan munculnya komunitas-komunitas terasing di sekitar lokasi perkebunan. Tradisi penderitaan ini tercermin dalam cerita rakyat dan lagu-lagu daerah yang menceritakan kesedihan para pekerja paksa.
Dominasi kolonial dalam sistem tanam paksa memiliki dampak jangka panjang yang masih terasa hingga sekarang. Pola ekonomi eksploitatif menciptakan ketergantungan pada komoditas primer dan menghambat perkembangan industri lokal. Mentalitas inferior yang ditanamkan melalui sistem pendidikan kolonial juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat pascakolonial. Legenda Romusha menjadi pengingat betapa sistem yang tidak adil dapat membentuk nasib suatu bangsa selama generasi.
Perlawanan terhadap sistem tanam paksa dan Romusha mengambil berbagai bentuk, dari protes lokal hingga gerakan organisasi nasional. Sarekat Islam memainkan peran penting dalam mengorganisir perlawanan melalui aksi-aksi boikot dan protes damai. Sementara itu, Indische Partij lebih fokus pada perlawanan intelektual melalui tulisan-tulisan dan pidato yang membangkitkan kesadaran nasional. Meski berbeda strategi, kedua organisasi ini sama-sama menentang dominasi kolonial dan memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia.
Tradisi penderitaan dalam sistem Romusha dan tanam paksa meninggalkan warisan budaya yang kompleks. Di satu sisi, muncul karya sastra dan seni yang mengkritik ketidakadilan sistem kolonial. Di sisi lain, berkembang pula budaya resistensi dan solidaritas di antara korban penindasan. Legenda tentang pahlawan lokal yang melawan sistem tanam paksa menjadi bagian dari folklor Indonesia yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Dalam konteks modern, mempelajari legenda Romusha dan sistem tanam paksa penting untuk memahami akar ketidakadilan sosial dan ekonomi di Indonesia. Dominasi kolonial mungkin telah berakhir secara politik, tetapi warisannya masih terlihat dalam kesenjangan ekonomi dan pola hubungan pusat-daerah. Pemahaman sejarah ini juga relevan dengan perjuangan kontemporer untuk pemilu yang lebih bebas dan adil serta sistem ekonomi yang memberdayakan rakyat kecil.
Kesimpulannya, legenda Romusha bukan sekadar cerita sejarah, tetapi cermin dari tradisi penderitaan yang diciptakan oleh dominasi kolonial melalui sistem tanam paksa. Organisasi seperti Sarekat Islam dan Indische Partij muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan ini, sementara kebijakan desentralisasi dan ketiadaan pemilu bebas memperkuat kontrol kolonial. Memahami narasi ini penting untuk menghargai perjuangan para pendahulu dan membangun masa depan yang lebih adil bagi semua warga Indonesia.