Dalam sejarah panjang peradaban manusia, dominasi ekonomi telah mengambil berbagai bentuk yang mencerminkan konteks sosial, politik, dan budaya zamannya. Di Indonesia, dua sistem yang tampak berbeda namun sama-sama merepresentasikan penguasaan ekonomi adalah Tradisi Tanam Paksa (Cultuurstelsel) era kolonial Belanda dan kehidupan nomaden yang telah ada sejak zaman pra-kolonial. Meskipun satu bersifat struktural-institusional dan lainnya lebih kultural-tradisional, keduanya menciptakan pola ketergantungan dan kontrol yang membentuk kehidupan masyarakat.
Tradisi Tanam Paksa, yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda antara tahun 1830-1870, merupakan sistem ekonomi yang dirancang secara sistematis untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja pribumi. Sistem ini mewajibkan petani di Jawa dan wilayah lain untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di sebagian lahannya, dengan hasil yang harus diserahkan kepada pemerintah. Di balik mekanisme yang tampak "tradisional" ini tersembunyi struktur dominasi yang sangat modern untuk zamannya, yang mengubah hubungan sosial dan ekonomi masyarakat agraris secara fundamental.
Sementara itu, kehidupan nomaden—yang sering diromantiskan dalam legenda dan cerita rakyat—sebenarnya juga mengandung unsur dominasi ekonomi, meski dalam bentuk yang berbeda. Kelompok-kelompok nomaden seperti suku-suku pengembara di Nusantara hidup dalam sistem ekonomi subsisten yang membuat mereka bergantung pada pola pergerakan musiman dan akses terhadap sumber daya alam yang terbatas. Dominasi dalam konteks ini bukan berasal dari kekuasaan politik terpusat, tetapi dari keterbatasan pilihan ekonomi dan tekanan ekologis yang membentuk cara hidup mereka.
Perbedaan mendasar antara kedua sistem ini terletak pada sumber legitimasi dan mekanisme pengontrolannya. Tanam Paksa bersandar pada kekuasaan negara kolonial yang memiliki aparatus birokrasi dan militer untuk memaksakan kehendaknya. Sebaliknya, dominasi dalam kehidupan nomaden lebih bersifat internal—ditetapkan oleh tradisi, kebutuhan adaptasi lingkungan, dan struktur sosial komunitas itu sendiri. Namun, keduanya sama-sama membatasi kebebasan ekonomi individu dan komunitas dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Implementasi Tanam Paksa mencapai puncak kekejamannya melalui sistem Romusha selama pendudukan Jepang. Meski secara teknis berbeda dari Cultuurstelsel, Romusha melanjutkan tradisi eksploitasi tenaga kerja pribumi untuk kepentingan kekuasaan asing. Ratusan ribu orang dipaksa bekerja dalam kondisi yang mengerikan untuk proyek-proyek militer Jepang, menciptakan salah satu babak paling kelam dalam sejarah buruh Indonesia. Sistem ini menunjukkan bagaimana dominasi ekonomi bisa berubah menjadi penindasan fisik langsung ketika dikombinasikan dengan kekuasaan otoriter.
Respons terhadap sistem dominasi ini melahirkan berbagai gerakan perlawanan dan pemikiran kritis. Sarekat Islam, yang didirikan pada 1912, muncul sebagai organisasi massa pertama yang memperjuangkan kepentingan ekonomi pribumi melawan dominasi pedagang Tionghoa dan sistem kolonial. Meski awalnya berfokus pada isu-isu keagamaan, organisasi ini berkembang menjadi wadah protes terhadap ketidakadilan ekonomi yang dialami masyarakat muslim Indonesia. Perkembangan ini menunjukkan bagaimana kesadaran akan dominasi ekonomi bisa memobilisasi gerakan sosial yang signifikan.
Pada periode yang sama, Indische Partij yang didirikan oleh "Tiga Serangkai"—Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat—mengusulkan visi yang lebih radikal. Partai ini tidak hanya menentang dominasi ekonomi kolonial tetapi juga menantang seluruh struktur politik yang menopangnya. Meski umurnya singkat karena dilarang pemerintah kolonial, Indische Partij meletakkan dasar pemikiran tentang pentingnya kemandirian ekonomi sebagai prasyarat kemerdekaan politik.
Perdebatan tentang bentuk dominasi ekonomi ini terus berlanjut hingga era pascakolonial melalui wacana desentralisasi. Setelah kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan untuk menciptakan sistem ekonomi yang tidak mengulangi pola-pola dominasi masa lalu. Desentralisasi ekonomi dan politik dianggap sebagai salah satu solusi untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan ekonomi di tangan elite tertentu, baik di pusat maupun daerah. Namun, implementasinya sering terkendala oleh warisan mentalitas yang terbentuk selama berabad-abad dalam sistem yang terpusat dan menindas.
Dalam konteks modern, pemilu bebas seharusnya menjadi mekanisme untuk mengoreksi ketimpangan ekonomi melalui proses politik yang demokratis. Masyarakat seharusnya bisa memilih pemimpin dan kebijakan yang mampu mengurangi berbagai bentuk dominasi ekonomi, baik yang bersifat struktural seperti warisan Tanam Paksa maupun kultural seperti keterbatasan pilihan ekonomi pada komunitas tertentu. Namun, kenyataannya pemilu sering kali justru dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi untuk melanggengkan dominasi mereka melalui politik uang dan oligarki.
Refleksi historis menunjukkan bahwa baik Tanam Paksa maupun kehidupan nomaden meninggalkan warisan yang masih terasa hingga kini. Mentalitas ketergantungan, kurangnya inisiatif ekonomi mandiri, dan penerimaan terhadap ketimpangan sebagai takdir adalah beberapa warisan negatif yang perlu diatasi. Di sisi lain, ketahanan komunitas, solidaritas sosial, dan adaptasi terhadap keterbatasan sumber daya dari kehidupan nomaden justru bisa menjadi inspirasi untuk model ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.
Mempelajari kedua bentuk dominasi ekonomi ini mengajarkan bahwa kebebasan ekonomi sejati memerlukan lebih dari sekadar penghapusan sistem yang menindas. Diperlukan transformasi mendasar dalam struktur sosial, pola pikir, dan institusi politik yang memungkinkan setiap individu dan komunitas memiliki kedaulatan atas sumber daya dan pilihan ekonomi mereka. Seperti halnya para pemain yang mencari peluang terbaik dalam berbagai situasi, masyarakat perlu mengembangkan strategi untuk menghadapi berbagai bentuk dominasi ekonomi yang mungkin muncul dalam bentuk baru di era kontemporer.
Dalam konteks perjuangan melawan dominasi ekonomi, penting untuk mengembangkan berbagai strategi dan sumber daya. Masyarakat perlu mengakses informasi dan peluang yang bisa meningkatkan posisi tawar mereka, mirip dengan bagaimana para pencari peluang ekonomi memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia. Transformasi ekonomi yang inklusif memerlukan partisipasi aktif semua pihak dalam menciptakan sistem yang lebih adil dan merata.
Kesimpulannya, Tradisi Tanam Paksa dan kehidupan nomaden merepresentasikan dua kutub dalam spektrum dominasi ekonomi—satu bersifat eksternal dan terinstitusionalisasi, sementara lainnya lebih internal dan terkulturalisasi. Keduanya mengajarkan pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan ekonomi bisa mengambil berbagai bentuk dan bagaimana masyarakat meresponsnya. Warisan sejarah ini tetap relevan untuk memahami tantangan ekonomi kontemporer Indonesia dan merancang solusi yang tidak mengulangi kesalahan masa lalu sambil mengambil hikmah dari ketahanan yang ditunjukkan oleh nenek moyang kita dalam menghadapi berbagai bentuk dominasi.